Tertanggal 5 juni 2013. Berangkatlah ke gunung merbabu. Gunung inu terletak d wilayah jawa tengah dan berdekatan dengan kota boyolali dan salatiga.

Uniknya, gunung merbabu dikenal mempunyai 7 puncak utama, atau biasa disebut seven summit merbabu. Mungkin juka belum berkesempatan menggapai 7 summit sebenernya yang merupakan tujuh puncak dunia di masing – benua, dapat menjajal dulu 7 summit di merbabu ini. Toh setelah turun akan sama – sama mempunyai julukan 7 summiters. Hehe..

Untuk menuju puncak gunung ini dapat dicapai dari Jalu wekas (magelang), selo (boyolali), dan kopeng (salatiga).

Pada kesempatan ini pendakian dimulai dari jalur kopeng dan turun di jalur selo yang berhadapan langsung dengan gunung merapi.

Transportasi ke kawasan wisata kopeng dari bandung dapat ditempuh dengan menggunakan bus jurusan semarang dengan kisaran harga 80-100 rbu rupiah (saya merasa ditipu karena naik bis po bhinneka dgn jurusan semarang ac seharga 120 ribu dan dioper ke bis bobrok tanpa ac di terminal kota tegal, padahal pulang dari solo dgn po rajawali ac hanya seharga 95 ribu tanpa oper-oper bis). Setelah itu dilanjutkan ke kota salatiga dengan ongkos 10 ribu rupiah untuk turun di pasar sapi salatiga dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Di pasar sapi ini terdapat pasar tradisional sehinga para penjelajah dapat berbelanja logistik perbekalan dsini.

Wilayah Kopeng

Setelah dari pasar sapi melanjutkab menuju kawasan kopeng dengan minibus (kalau tidak salah 5 ribu rupiah) selama kurang lebih 30 menit. Setelah sampai di kawasan kopeng, kita dapat turun di arah desa thekelan atau cuntel karena kedua desa tersebut mempunyai jalur pendakian. Kali ini pendakian dimulai dari desa thekelan setelah sewa ojek 10 ribu selama sekitar 30 menit untuk menghemat tenaga.

Di basecamp thekelan dapat beristirahat dan menanyakan informasi sekitar perjalanan lewat jalur kopeng thekelan ini. Selain itu pengunjung diwajibkan membayar administrasi sebesar 4 ribu rupiah per orangnya.

Basecamp Thekelan

6 Juni 2013

16.00 – 17.00 : memulai perjalanan dari basecamp menuju pos 1 (Pending) dengan jarak sekitar 1200 meter. Di pos satu ini terdapat sumber air melimpah dan shelter tembok sehingga sangat pas untuk bermalam karena pendakian kali ini dimulai terlalu sore..

Camp 1

Di pos ini akan sangat indah pemandangan city light kota salatiga.

Sumber Air Camp 1 dengan latar kota salatiga

7 juni 2013,

08.30-09.30: Karena terlambat bangun, pendakian baru dilanjutkan jam setengah 9 menuju pos 2 yang berjarak kurang lebih 1000 meter. Jalur yang dilewati masih agak rapat hampir sama dengan perjalanan ke pos 1. Setelah sekitar satu jam perjalanan, akan ditemukan pos 2 (Pereng Putih). Di pos ini terdapat pula shelter permanen seperti di pos 1, namun tidak terlihat keberadaan sumber air.

Camp 2

Setelah istirahat sekitar 15 – 30 menit, perjalanan dilanjutkan dari pos 2. Nah, dari sini tidak ada lagi penanda pos 3 (Gumuk Menthul) dan pos 4 (Lempong Sampan). Berhubung baru pertama kali mendaki merbabu, 2 dataran yang agak luas diperkirakan sebagai pos 3 dan 4. Menurut info jarak dari pos 2 ke pos 3 hanya 30 menit dengan jarak 575 meter. Dan dari pos 3 menuju pos 4 dapat dilewati sekitar 1 jam dengan jarak 785 meter. Dari pos 2 sampai pos 4 ini medan yang dilalui masih relatif terjal dengan kemiringan kira – kira 300.

 

Puncak 1 Watu Gubug

Setelah dari pos 4, perjalanan dilanjutan ke puncak pertama (Watu Gubug). Jalur yang ditempuh relatif curam dan menguras tenaga, apalagi hujan turun sehingga membuat jalan tanah menjadi licin, webbing akan sangat membantu untuk melalui jalur ini. Setelah sekitar satu jam lebih dan menempuh jarak 724 meter, sampailah di Watu gubug. Inilah gerbang pertama 7 summit merbabu. Penulis sampai di pos ini pada pukul 13.00 dengan kodisi gerimis dan berkabut. Sayangnya, vandalisme telah merajalela di pos ini. Banyak tulisan – tulisan yang ingin menunjukkan eksistensi oleh para pendaki di bebatuan besar pos ini.

Perjalanan ke Watu Tulis

Perjalanan dilanjutkan ke puncak 2 (Watu Tulis). Nah, medan yang dilalui sangat menguras tenaga dan juga mental. Jarak yang akan ditempuh yaitu 435 meter dengan waktu normal 35 menit

Pemandangan dari Watu Tulis

Sampai lewat tengah hari pukul 13.55, sampailah di pos pemancar atau puncak ke 2. Disebut puncak pemancar karena ada bangunan tower BTS disini beserta shelter permanennya. Di sini terdapat tanah datar yang dapat dijadikan tempat berkemah beberapa tenda. Di dalam shelter tower pemancar tidak disarankan berkemah karena kondisinya yang kotor dan tidak nyaman. Istirahat, memasak, dan bakar tembakau dilakukan disini.

Setelah istirahat lama lebih dari 1 jam, perjalanan dilanjutkan menuju puncak 3 geger sapi dengan jalur menurun dan menghemat tenaga. Lama perjalanan sekitar 15 menit. Disebut geger sapi karena puncakannya seperti punggng sapi dengam sisi sebelah kiri dan kanan tebing jurang.

Puncak 3 Geger Sapi

Turun kebawah lagi akan menemukan lembahan yang dapat dipakai tempat berkemah. Setelah dari lokasi ini menanjak ke beberapa saat sampai dataran yang yang disebut sebagai helipad karena berupa puncakan yang menyerupai tempat pendaratan helikopter.

Dari helipad ini menanjak scrambling medan bebatuan sekitar 30 menit sampai menemukan dataran lagi yang penulis pakai sebagai tempat bermalam lagi. Disini pemandangan sangat indah karena dapat terlihat puncak pemancar dan geger sapi dengan jelas, bahkan ketika malam hari terlihat city light dan cahaya senter para pendaki yang melakukan perjalanan malam turun dari puncak pemancar. Malam yang cerah pun tertampak ribuan bintang karena tempat ini amat terbuka. Hanya hawa dingin ekstra kekurangannya karena jika mendirikan tenda tidak ada yang menghalanginya dari tiupan angin.

8 Juni 2013

Puncak 4 Syarif

Pagi hari, sekitar pukul 08.00 Perjalanan dilanjutkan menuju puncak 4, puncak syarif. Cukup ikuti jalur yang banyak menanjak sampai menemukan pertigaan jalur dengan vegetasi ilalang. Ambil jalan ke kiri ke arah puncak syarif. Cukup waktu selama sekitar 20 menit dari pertigaan menuju puncak syarif.

Pertigaan

Konon ada seorang pelarian pada jaman penjajahan yang bernama syarif bersembunyi dari pengejaran di puncak ini.

Setelah puas menikmati puncak syarif yang relatif luas dan dapat dipakai tempat berkemah namun kurang terlindungi dari terpaan angin, berjalanlah kembali ke arah pertigaan dan lewati jalur yang lain menuju puncak 5 ondo rante.

Menuju Puncak 5 Ondo Rante

Menuju ondo rante jalur yang dilewati naik turun namun lebih banyak tanjakannya. Banyak medan berbatu dan ilalang serta pemandangan sabana yang membentang.

  Ikuti saja jalur yang ada sampai menemukan cabang jalan. Ke kiri jalan melipir datar, sedangkan ke kanan jalan menanjak terjal berbatu ke arah puncak 5 ondo rante. Nah, di percabangan ini ada baiknya tidak membawa ransel karena jika turun dari ujung yang lainnya sangat terjal dan berbahaya, butuh koordinasi penuh tubuh untuk menjaga keseimbangan. Penulis sudah sampai di puncak 5 ini sekitar pukul 9 pagi karena jarak tempuh dari puncak 4 hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit. Setelah turun dari puncak 5 ini, kembali ke percabangan untuk mengambil ransel lalu perjalanan dilanjutkan melalui jalan melipir. Kondisi di wilayah ini penuh dengan rerumputan dan pohon bunga edellweiss di tebing-tebingnya, sangat indah.

Sekitaran Ondo Rante
Menuju Kenteng Songo

Beberapa saat sebelum sampai di puncak 6 (Kenteng Songo) atau puncak tertinggi gunung merbabu, para pendaki dihadapkan pada jalur yang relatif sulit untuk dilalui. Berhubung baru hujan, maka jalur tanah yang ada sulit didaki dan rerumputan yang dapat dijadikan tumpuan pegangan sudah goyah karena telah banyak dipakai oleh pandaki lain yang baru saja melewatinya.

Sampai di puncak Kenteng Songo setelah berjalan lebih dari 30 menit, pemandangan sangat indah dan banyak yang bisa dinikmati jika cuaca sedang cerah. Puncak ini berupa dataran yang dapat dipakai tempat berkemah beberapa tenda. Disini terdapat batu aneh yang berlubang seperti dipahat dengan sangat sempurna berjumlah 9 buah. Menurut cerita setempat, dulunya tempat ini adalah sebuah istana. Selain itu, puncak 7 (Triangulasi) dapat terlihat dari sini.

Puncak 6 Kenteng Songo
Puncak 7 Triangulasi

Dari Kenteng Songo perjalanan dilanjutkan ke puncak terakhir (yeey), yaitu puncak triangulasi yang berjarak kurang dari 100 meter. Penulis sampai di puncak ini pada sekitar pukul 10. Sayangnya, kondisi berkabut dan disusul dengan hujan yang mengharuskan segera turun.

Setelah menikmati 7 summit merbabu. Turunlah melewati jalur selo. Ambil jalur terjal menurun dari puncak 7 ini. Medan yang dilalui amat menurun sehingga jika memungkinkan para pendaki dapat berlari menuruninya. Pemandangan sangat indah karena terdapat padang rumput (sabana) yang amat luas. Di area ini, medan yang dilalui berbukit – bukit naik turun. Setelah sekitar 1 jam 30 menit, sampailah di pos sabana II. Pos ini berada di tengah sabana sehingga sepertinya akan sangat nikmat jika bermalam disini.

Perjalanan dilanjutkan ke pos sabana 1 dengan waktu tempuh sekitar 1 jam jika berjalan santai. Pos ini masih berupa padang rumput sabana dengan tempat mendirikan tenda yang luas. Pemandangannya pun tidak kalah dengan pos sabana II. Apalagi gunung merapi dapat dinikmati pemandangannya dari sini.

Pukul 13.30 perjalanan pulang dilanjutkan. Medan selanjutnya masih perbukitan yang relatif datar. Disarankan memperhatiakan jalur karena banyak cabang jalur yang sepertinya dibuat oleh penduduk setempat. Setelah melewati perbukitan, kondisi medan mulai curam menurun dengan vegetasi yang rapat.

Merapi dari Selo

Pukul 15.30, akhirnya sampai juga di pintu gerbang pos pendakian selo. Dekat dari gerbang ini terdapat basecamp yang dapat dipakai beristirahat bahkan menginap. Disini dijual pula souvenir gunung merbabu dan makanan serta minuman.

Basecamp Selo

Berhubung sudah tidak ada kendaraan lagi untuk menuju cepogo. Penulis memutuskan untuk bermalam sehari lagi di basecamp ini. Sebenarnya bisa saja mencarter kendaraan lewat si empunya basecamp (Kalau tidak salah carter menuju jogja biayanya sekitar 300ribu atau 350 ribu setelah ada pendaki yang memaksa ingin pulang). Suasana di basecamp ini terasa hangat karena banyak pendaki yang mampir sebelum memulai pendakian ataupun hendak pulang.

Pasar Cepogo

Pagi hari tanggal 9 juni nya sekitar pukul 6.30 penulis berjalan kaki meninggalkan desa selo karena belum terlihat ada angkutan yang datang. Untungnya di tengah perjalanan ada mobil pick up agak kosong sehingga dapat menebeng sampai jalan raya. Di jalan raya pun ternyata belum menemukan kendaraan umum sehingga berjalan dulu ke arah pasar cepogo dan di tengah jalan ada mobil pick-up lagi yang kami tumpangi kembali. Sampai di pasar cepogo cari angkutan menuju boyolali dengan ongkos 4000 rupiah (kalau tidak salah). Di terminal boyolali dapat langsung menuju bandung atau jakarta dengan ongkos yang variatif.

Merapi dari Selo

14 April 2013

Kawasan Wisata Batu Kuda

Batu Kuda adalah objek wisata alam di kaki gunung manglayang yang terletak di daerah Bandung Timur. Nama kawasan ini berasal dari sebuah batu besar yang mirip dengan seekor kuda. Batu Kuda belum begitu banyak dikenal, bahkan oleh masyarakat bandung timur sendiri sehingga relatif masih alami dengan hutan pinus yang menjulang tinggi.

Pintu Gerbang

Untuk menuju kawasan ini, dapat dicapai dengan banyak jalur, diantara melalui jalan Ciguruwik dan Manjah Beureum, yang sama-sama berada di wilayah kecamatan Cileunyi kabupaten Bandung. Kali ini perjalanan dimulai dari jalan Ciguruwik dan pulang melewati jalur Manjah Beureum. Untuk menuju Batu Kuda melalui jalan Ciguruwik, dari Bandung dapat menuju ke arah cibiru, lalu ambil ke arah cileunyi. Dari bunderan Cibiru, kurang lebih sekitar 2-3 km ambil belok kiri persis sebelum rumah makan ponyo, ke jalan Ciguruwik. Setelah berbelok, terus saja ikuti jalan menanjak sampai kira-kira 30 menit (menggunakan sepeda motor). Kondisi jalan ini ada yang mulus dan ada juga yang rusak namun tidak begitu parah, hanya sesekali sangat menanjak dan banyak warga berkegiatan serta anak kecil yang sedang bermain di sepanjang jalan ini sehingga agak menghambat jika sedang tancap gas untuk melibas tanjakan-tanjakan.

Basecamp Sadawana

Sampai di pos tiket, tampaknya saya tidak menyadari adanya pos disana sehingga langsung saja menancap gas menuju gerbang dan memarkir sepeda motor. Lumayan, masuk gratisan. Setelah parkir langsung menuanaikan ibadah terlebih dahulu di musholla sebelah gerbang, di belakang Basecamp Perhimpunan Pendaki Gunung Sadawana yang nampaknya akan mengadakan pendidikan dasar mereka untuk angkatan yang ke XIV.

Sambil mengambil foto sebentar di sekitaran gerbang, ternyata pengunjung yang datang rata-rata anak usia sekolah antara SMP dan SMA. Hebatnya lagi, hampir semuanya datang berpasang-pasangan. Ada yang berduaan di antara pepohonan pinus, dan ada juga yang asyik di warung-warung yang menyediakan saung-saung lesehan, nampaknya berasa suasana romantis lah. Selain yang berpacaran, banyak juga anak sekolah dan anak pramuka yang berkemah dan berkegiatan outdoor. Para fotografer pun tidak kalah mencoba mengabadikan hutan pinus ini, juga para pendaki yang nampaknya ingin menjajal Gunung Manglayang. Ya, hari minggu memang hari bermain sehingga disini tidak terlihat siswa SMA yang sedang belajar untuk menghadapi Ujian Nasional esok harinya.

Jalur Batu Kuda

Untuk menuju Batu Kuda, cukup mengikuti jalan setapak menanjak yang membentang dari awal gerbang masuk. Terdapat petunjuk jalan yang ditempel di pohon pinus menginformasikan bahwa jarak ke Batu Kuda hanya 700 meter. Jalur setapak ini dihiasi hutan pinus, dan semak-semak. Sesekali anda akan berpapasan dengan penduduk sekitar yang pulang atau berangkat mencari kayu ataupun tumbuhan lain, jangan lupa sampaikan senyum tulus.

Karena pertama kali kesana, agak bingung menemukan batu kudanya. Sempat ragu kalau-kalau sudah salah jalan atau terlewat karena mencoba jalur-jalur tidak umum hanya karena penasaran. Namun jika terus saja mengikuti jalan setapak, niscaya akan sampai juga ke tempat kuda yang membatu, hanya jaga kesabaran dan kerianggembiraan saja.

Batu Kuda

Sampai di Batu Kuda, terdapat pelataran kecil yang terdapat bekas suatu bangunan. Mungkin dulunya berupa semacam saung namun sudah diruntuhkan. Di samping Batu Kuda, terdapat pohon besar tinggi yang sudah mati. Entah kenapa pohon ini mati, entah disengaja ulah manusia ataupun secara alami, namun tetap masih tegak berdiri. Namanya orang Indonesia, nampaknya tidak puas jika tidak meninggalkan jejak. Terdapat coretan-coretan (orang pintar menyebutnya vandalisme) di Batu Kuda ini, ataupun di pohon besar yang sudah mati tadi. Yang saya ingat, ada coretan SMA Pasundan 8 (tolong introspeksi).

Batu Kuda

Setelah berfoto beberapa kali, kembalilah kaki melangkah lagi menuju gerbang. Sebelum pulang, mampirlah dulu ke warung-warung yang banyak berdiri di sekitaran gerbang. Mungkin untuk sekedar ngopi ataupun ngemie, atau nyemil gorengan (masih panas, fresh from the oven).

Ketika masih nongkrong sambil menikmati pepinusan, ternyata ada jalur bertangga menuju punggungan kecil di arah kiri gerbang. Ternyata, ada penunjuk jalan yang lagi-lagi ditempel di pohon pinus yang menginformasikan bahwa ke arah puncak (sepertinya yang dimaksud puncak Gunung Manglayang) jaraknya 2700 meter. Sempat terpikir untuk kesana, namun tidak ada persiapan karena terakhir main ke Gunung Manglayang, penulis nyasar di sekitaran hutan ini.

Kembali lagi ke gerbang, panaskan sepeda motor, naiki sepeda motor, dan jalankan sepeda motor. Kali ini pulang melewati jalan Manjah Beureum yang terus menurun sesekali curam. Jalan ini berujung di jalan raya Cileunyi persis setelah jalan searah dari arah bandung. Jarak dari gerbang menuju jalan raya lewat jalan ini kira-kira sama dengan jalur dari jalan Ciguruwik.

Menurut legenda, konon zaman dahulu kala seorang raja dan ratu dari Jawa Barat yang bernama Prabu Layang Kusuma dan Prabu Layang Sari sedang melakukan perjalanan di gunung manglayang dengan berkuda. Namun, tiba-tiba kuda yang ditunggangi terperosok kedalam lumpur hingga sampai setengah badannya saja yang terlihat. Tiba-tiba, kuda itupun membatu dan rombongan kerajaan itu mengehntikan perjalanan. Sang Raja kemudian menyadari bahwa kawasan itu merupakan tempat yang cocok untuk bertapa sehingga tidak lagi meneruskan perjalanannya sampai akhir hayatnya. Begitu pula sang ratu dan para pengawalnya.

Memang di kawasan ini terdapat pula Batu Gunung yang sangat tinggi dan makam raja yang banyak didatangi para peziarah dengan berbagai maksud dan tujuan.

Liburan semester 3 kemarin kami berencana untuk backpacking keliling Jogja. Salah satu destinasi utama kami, tentu saja PANTAI!

Bicara tentang pantai di Jogja tentulah Parangtritis yang pertama muncul di benak. Hanya saja kami mulai berpikir, apakah hanya Parangtritis? Adakah pantai lain yang tersembunyi di Jogja?

ADA! Setelah observasi di dunia maya, ternyata ada garis pantai sepanjang Selatan Wonosari. Disana ada beberapa pantai yang saling bersebelahan. Rencana kami, Pantai Sundak adalah tujuan pertama. Lalu kami akan menyusuri pantai hingga ke Pantai Baron.

Here We Go!

KAMIS

  • Pukul 20.00 Berangkat dari Bandung (Stasiun Kiaracondong), naik kereta ekonomi.
  • Bagian paling berat dari perjalanan: 8 jam di kereta.

JUMAT

  • Pukul 05.30 tiba di Stasiun Lempuyangan-Jogja, sebelah timur Malioboro.
  • Langsung menuju Terminal Giwangan, daerah selatan Jogja.
  • Dari terminal Giwangan naik bis ke arah Wonosari. Perjalanan sekitar 1 jam.
  • Tiba di terminal Wonosari sekitar pukul 09.00, kami langsung mencari transportasi menuju Pantai Sundak.

Setelah bertanya-tanya, ternyata jarang ada transportasi ke daerah pantai Sundak, karena jarang ada yang mengunjungi pantai tersebut selain hari libur. Kami semakin semangat, itu artinya pantai Sundak pasti sepi.

Ada satu elf (kendaraan minibus diesel yang biasanya bermerk Mitsubishi ELF, makanya sering disebut “elf”. Tapi ini sebutan lazim di daerah Pajajaran, di daerah jawa kami lupa tidak menanyakan sebutan khas kendaraan ini.), yang bersedia mengantar kami ke pantai Sundak, dengan syarat harga jalannya dinaikkan. Setelah nego-nego, kami memutuskan setuju. Berangkatlah kami.

Pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan, yaa pemandangan pedesaan, ladang, bukit, semak. Tidak ada yang menarik mata kami. Namun hati kami bisa merasakan kedamaian mengelilingi penduduk di daerah itu. Sejuk, tenang, dan nyaman terasa di hati.

Sambil bercakap dengan abang kernet, elf berjalan mantap di jala aspal yang sangat bagus untuk skala pedesaan(jika dibanding jalan aspal di kota, Bobrok!).

  • Pukul 11.00 tibalah kami di pelataran parkir pantai Sundak.

Begitu mendarat dari elf setengah bobrok, kami langsung berhamburan mendekati bibir pantai. Tidak lupa kami bertukar nomor HP dengan abang kernet. Janjian minta dijemput Sabtu siang esok harinya, di Pantai Baron.

Perjalanan nonstop 8 jam di kereta ekonomi, bis stasiun, bis wonosari, hingga elf bobrok itu, langsung terbayar lunas saat kami memandang hamparan Samudera Indonesia yang dibingkai oleh bukit Karang di sisi kiri dan kanan, barisan kapas awan tebal di sisi atas dan pasir putih di sisi bawah. Cantik!

Pantai Sundak

Kami langsung membanting ransel di atas pasir putih bersih tanpa sampah. Sebagian dari kami mengeluarkan kamera, sebagian buka celana, sebagian langsung menceburkan tubuh di pantai.

Meskipun kami telah membaca peringatan “PERHATIAN!!! LOKASI INI SANGAT BERBAHAYA DILARANG MANDI/BERENANG, BERMAIN DI LAUT” kami tetap tak tahan untuk membasahi tubuh remuk ini. Toh kami berenang di pantai, bukan di LAUT. . .

  • Pukul 11.30 teringat shalat Jumat. Tapi apadaya, masjid terdekat sepi jamaat. Jadi kami putuskan untuk shalat Dzuhur saja.

Kami langsung mendirikan tenda, tepat menghadap pantai, di bawah pepohonan rindang. Shalat, makan, minum, merokok, tanpa baju, tanpa alas kaki WAAAAA. . . We can’t find any reason to leave this heaven!!!

Bersambung.